Hisab artinya hitungan
sedangkan ru`yat adalah pandangan/penglihatan. Istilah ilmu hisab maknanya
adalah disiplin ilmu untuk menetukan penanggalan berdasrkan hitungan matematis.
Sedangkan ru`yat adalah penetuan jatuhnya awal bulan qamariyah berdasarkan
penghilatan mata atau pengamatan ada tidaknya bulan sabit (hilal) tanggal satu
pada hari terakhir (tanggal 29) bulan qamariyah. Pengamatan dilakukan pada sore
hari menjelang matahari terbenam. Bila di hari itu nampak hilal, maka dipastikan
bahwa esok telah masuk kepada bulan baru atau tanggal satu. Dan hari itu
(tanggal 29) menjadi hari terakhir dari bulan sebelumnya.
Rasulullah saw dalam
beribadah selalu menjalankannya sesuai dengan kehendak Allah. Dan apa yang
dikerjakannya itu menjadi dasar hukum Islam yang harus diikuti oleh umat Islam
seluruhnya hingga akhir masa. Dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fithri dan
Idul Ahda tidak pernah Rasulullah saw menentukannya berdasarkan hisab. Bukan
karena di zaman itu tidak ada ilmu hisab, tapi karena memang itulah yang
dijadikan ajaran Islam. Pada abad ke-7 dimana Rasulullah saw hidup, ilmu hisab
sebenarnya sudah ada dan cukup maju. Dan bila memang mau, tidak ada kesulitan
sedikitpun untuk menggunakan ilmu hisab di zaman itu. Apalagi bangsa arab
terkenal sebagai pedangan yang sering melakukan perjalanan ke berbagai peradaban
besar dunia seperti Syam dan Yaman. Namun, belum pernah didapat sekalipun
keterangan dimana Rasulullah saw memerintahkan untuk mempelajari ilmu hisab ini
terutama untuk penentuan awal bulan. Karena itu alasan yang pasti mengapa
Rasulullah saw tidak menggunakan hisab dalam penetuan tanggal adalah karena
memang ajaran Islam tidak merekomendir penggunaan hisab untuk dijadikan penentu
penanggalan.
Sebaliknya Rasulullah saw
sejak awal telah mengunakan ru`yatul hilal dan ada sekian banyak hadits
menyebutkan hal itu. Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw telah bersabda :
”Puasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu (lebaran) dengan
melihatnya. Apabila tertutup awan, maka genapkanlah bulan sya`ban menjadi 30
hari”. (HR. Bukhari dan Muslim). Dan Rasulullah saw bersabda : “Satu bulan itu
ada 29 hari, maka janganlah kamu puasa kecuali melihat hilal. Namun bila hilal
tertutup awan, maka genapkanlah menjadi 30 hari”. (HR. Bukhari)
Karena itu wajar bila semua
ulama baik di zaman dahulu maupun di zaman sekarang semuanya sepakat bahwa dalam
menentukan pergantian kalender hijriyah yang berkaitan dengan masalah jadwal
ibadah seperti awal ramadhan, jatuh hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha serta
yang lainnya adalah dengan menggunakan ru’yatul hilal. Hikmah di balik
penggunaan ru’yatul hilal tidak lain adalah bahwa agama Islam itu mudah. Tidak
memerlukan teknologi canggih untuk bisa menerapkannya. Juga tidak membutuhkan
perhitungan (hisab) yang njelimet untuk menentukannya. Bahkan seorang arab badui
yang tinggal di tengah padang pasir dan jauh dari pusat peradaban bisa sekalipun
bisa melakukannya.
Sebaliknya, meski sering
dikatakan lebih ilmiyah, namun metode hisab itu sendiri juga penuh dengan
perbedaan. Karena ada banyak cara atau metode penghitungan yang dikenal. Selain
itu juga ada sekian banyak ketentuan dan sistem yang dipakai oleh masing-masing
pelaku hisab. Walhasil, meski menggunakan ilmu hitung yang paling modern
sekalipun, hasilnya tidak selalu sama. Sehingga bila kita menelusuri leteratur
fiqih baik klasik maupun modern, maka kita hampir tidak mendapati metode hisab
dalam penentuan tanggal hijriyah.
Kalaupun hisab itu akan
digunakan, maka sifatnya hanya sebagai pengiring atau pemberi informasi umum
tentang dugaan posisi hilal, namun bukan sebagai eksekutor dimana hanya dengan
hisab lalu belum apa-apa sudah dipastikan jatuh awal Ramadhan. Ini jelas tidak
bisa diterima dalam Fiqih Islam. Sema orang yang pernah belajar fiqih apalagi di
universitas Islam, pasti tahu hal itu. Karena itu aneh kiranya bila jabatan
Menteri Agama dipegang oleh seorang doktor syariah dari Universitas Ummul Quro
Mekkah, tapi kebijakannya dalam masalah penetapan awal Ramadhan masih lebih
bertumpu kepada hisab dan bukan ru’yatul hilal. Karena pendapat tentang
keabsahan hisab dalam penetuan awal Ramadhan dan sebagainya adalah pendapat yang
asing dan tidak dikenal dalam wilayah fiqih Islam.