Sunan Gunung Jati
Kisah wali songo
kali ini akan mengulas tentang cerita Sunan gunung jati, Ia merupakan
salah satu dari wali songo yang berdakwah di jawa barat. Sebenarnya
sebelum sunan gunung jati berdakwah di jawa barat itu, sudah ada seorang
ulama dari Baghdad, irak yang dating ke daerah Cirebon bersama dua
puluh orang muridnya. Ulama besar itu bernama Syekh kahfi. Ia adalah
ulama yang lebih dulu menyiarkan agama islam di sekitar cirebon.
Cerita Sunan Gunung Jati
Suatu
hari dikisahkan bahwa putra prabu siliwangi dari pajajaran bernama
pangeran walangsungsang dan adiknya bernama rara santang, mendapat mimpi
yang sama pada suatu malam. Mimpi tersebut terulang-ulang sampai tiga
kali. Mereka bermipi bertemu dengan Nabi Muhammad saw yang mengajarkan
agama islam.
Wajah nabi Muhammad saw
yang agung dan cara menerangkan islam sangat mempesona, sehingga membuat
keduanya merasa rindu. Tapi, mimpi itu hanya terjadi tiga kali.
Sebagaimana orang kehausan, keduanya ingin mereguk air lebih banyak
lagi. Dan air yang menyejukkan jiwa mereka adalah agama islam.
Mereka
juga kebetulan mendengar keberadaan Syekh Kahfi atau biasa disebut
syekh datuk kahfi membuka perguruan islam di cirebon. Mereka
mengutarakan maksud mereka kepada prabu silliwangi untuk berguru kepada
syekh kahfi. Mereka ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran nabi
Muhammad saw. Tapi keinginan mereka ditolah oleh prabu siliwangi.
Pangeran
walangsungsang dan adiknya tetap nekat. Kemudian keduanya melarikan
diri dari istana dan pergi berguru kepada syekh kahfi si gunung jati.
Setelah berguru beberapa lama di gunung jati, pangeran walangsungsang
diperintahkan oleh syekh kahfi utuk membuka hutan di bagian selatan
gunung jati. Sesungguhnya, ia adalah seorang pemuda sakti. Maka, tugas
itu pun mampu diselesaikannya dalam beberapa hari.
Daerah
itupun dijadikan pedukuhan yang semakin hari semakin banyak orang
berdatangan untuk menetap dan menjadi pengikut pangeran walangsungsang.
Setelah daerah itu ramai, ia diangkat sebagai kepala dukuh dengan gelar
cakrabuana. Lalu, daerah tersebut dinamakan tegal alang-alang.
Orang
yang menetap di tegal alang-alang terdiri atas berbagai ras atau
keturunan. Banyak pedagang asing yang menjadi penduduk setempat,
sehingga terjadilah pembauran berbagai ras dan percampuran dalam bahasa
sunda. Akibatnya, tegal alang-alang disebut caruban.
Sebagai
besar rakyat caruban bermata pencarian pencari udang, yang kemudian
dibuat menjadi petis yang terkenal. Dalam bahas asunda, petis udang
disebut “cai rebon”. Kemudian, daerah caruban lebih dikenal sebagai
Cirebon hingga sekarang. Setelah dianggap memenuhi syarat, pangeran
cakrabuana dan rara santang diperintah oleh syekh kahfi untuk
melaksanakan ibadah gaji ke tanah suci.
Mereka
berdua berangkat ke Makkah. Sesampainya di kota suci makkah, kedua
kakak beradik itu tinggal di rumah seorang ulama bersar bernama Syaikh
Bayanillah sambil menambah pengetahuan agama. Sewaktu mengerjakan thawaf
mengelilingi Ka’bah, keduany bertemu dengan seorang raja mesir bernama
Sultan Syatif Abdullah yang sedang menjalani ibadah haji. Raja mesir itu
tertarik pada wajah rara santang yang mirip almarhumah istrinya.
Sesudah
ibadah haji, raja mesir itu melamar rara santang pada syekh bayanillah.
Rara santang dan kakaknya, pangeran cakrabuana, tidak keberatan. Maka
pernikahan mereka dilangsungkan sesuai Madzhab Syafi’i. Kemudian, nama
rara santang diganti menjadi Syarifah Mudaim. Dari perkawinan tersebut,
lahirlah syarif Hidayatullah yang kemudian mendapat sebutan sunan gunung
jati dan syarif Nurullah, adiknya.
Pangeran
cakrabuana berkesempatan tinggal di mesir selama tiga tahun. Kemudian
ia pulang ke jawa dan mendirikan negeri caruban larang. Negeri itu
adalah perluasan dari daerah Cirebon, tetap pola memerintahannya
menggunakan azas Islam. Dalam waktu singkat, negeri tersebut terkenal ke
seluruh tanah jawa, bahkan terdengar pula oleh prabu siliwangi, selaku
penguasa daerah jawa barat. Setelah mengetahui negeri baru tersebut
dipimpin oleh putranya sendiri, maka sang raja tidak keberatan walau
hatinya kurang berkenan. Akhirnya, sang prabu merestui tampuk
pemerintahan putranya, bahkan ia memberinya gelar Sri Manggana.
Dalam
usia muda, syarif hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk
untuk menggantikan kedudukannya sebagai raja mesir. Tapi anak mudah
yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Ia dan ibunya
bermaksud untuk pulang ke tanah jawa untuk berdakwah di jawa barat.
Kemudian, kedudukannya diberikan kepada adiknya, yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu berada di mesir, syarif hidayatullah berguru kepada beberapa
ulama besar di daratan timur tengah. Dalam usia sangat muda, ilmunya
sudah sangat banyak. Maka, ia tidak merasa kesulitan untuk melakukan
dakwah ketika pulang ke tanah leluhurnya, yaitu jawa.